Skip to main content

Posts

Showing posts from December, 2013

Puisi | Potret Negeriku

Untuk pagi yang aku rindukan Manakala matahari beringsut dari timur Yang cahayanya hadirkan harapan Pada embun yang setia menyambut Pada pepohonan yang lelap bersama rembulan Kubuka jendela namun tak kudapati yang kuminta Apalah gunanya mentari jika semua gelap gulita Jutaan anak kelaparan Jutaan anak hidup dalam kebodohan Jutaan ibu mati dalam perjuangan Jutaan bapak tak mengaku sebagai bapak Inikah potret negeriku yang hampir tumbang? Yang moralnya terkikis dan terbuang Sedang tiang iklan para punggawa berdiri kokoh menjulang Yang jiwa patriotnya tumbuh saat dekat peluang Ya, peluang jadi pemimpin gadungan Orang miskin paling mulia di negeri ini Teristimewa yang miskin ilmu dan agamanya Rupiahmu mampu taklukan mereka Atas janji-janji demokrasi klise Sudahlah, jangan kausebut-sebut lagi demokrasi yang mati dibunuh keserakahan itu Arwahnya sudah tenang bersama mimpi-mimpi perindu keadilan Aku benci pada pagi yg suguhkan pilu Aku rindu pagi yang dulu yang mungkin tak sempat dirasakan ge

Apa yang patut aku cemburui?

Apa yang lebih indah dari mendo'akan secara diam-diam? Bahkan yang namanya selalu kausebut dalam do'a tak pernah menyebut namamu walau dalam mimpinya. Lalu, apa yang lebih sakit dari mantra 'semoga' yang tak pernah berbuah nyata? Tapi inilah adanya, aku masih disini dengan rintihan rindu yang menyayat kalbu, dengan beban asmara yang tak pernah dipikul bersama, tapi.. Aku menikmatinya. Lima tahun silam kita pernah berdua di penghujung sore, menyaksikan sang surya yang kembali ke peraduan. Kau bilang itu sangat indah, bagiku tidak. Andaikan ada 48 jam dalam sehari, dimana aku bisa menghabiskan waktu bersamamu lebih lama, pastilah aku lebih bahagia. Kita terpenjara dalam istilah 'teman'. Baiklah, apa yang buruk dari pertemanan? Tidak ada, kecuali sejak mata itu menikam logika ini, sejak kata dan lakumu berbentuk perhatian yang berlebih dari seorang yang hanya bergelar 'teman'. Hari demi hari kuhabiskan sembari berangan jauh lewati batas nyata. Angan

Tentang diri

Bayangan mereka mengkilap bak permata di mataku, berjalan dengan gagahnya dan penuh wibawa. Pandangan mereka elok terjaga, tak pernah kulihat mata itu genit memandang ikhwan non mahram dan tutur katanya lembut namun tegas dengan lantangnya menyiarkan islam. Merekalah orang-orang yang aku kagumi. "Hai Pecundang! Mau apa kau ada di dunia ini?" Katanya  "Untuk menjadi hamba Allah" Jawabnya "Hamba Allah kau bilang? adakah Hamba Allah yang masih lalai mengerjakan kewajibannya!"Bentaknya "Aku akan berubah" Sahutnya. "Lalu adakah Hamba Allah yang masih membenci orang tuanya?" Kembali ia bertanya "Aku akan berubah dan mengubur benci ini dengan seiring waktu" Sangkalnya "Kau Hamba Allah yang acuh terhadap sunah rasulmu, benarkah" Tanyanya dengan dagu terangkat "Benar, tapi aku akan berubah" jawabnya dengan lirih Setelah puluhan pertanyaan dilontarkan, dengan berlinang air mata ia kembali bertany