Skip to main content

Apa yang patut aku cemburui?

Apa yang lebih indah dari mendo'akan secara diam-diam? Bahkan yang namanya selalu kausebut dalam do'a tak pernah menyebut namamu walau dalam mimpinya. Lalu, apa yang lebih sakit dari mantra 'semoga' yang tak pernah berbuah nyata? Tapi inilah adanya, aku masih disini dengan rintihan rindu yang menyayat kalbu, dengan beban asmara yang tak pernah dipikul bersama, tapi.. Aku menikmatinya.

Lima tahun silam kita pernah berdua di penghujung sore, menyaksikan sang surya yang kembali ke peraduan. Kau bilang itu sangat indah, bagiku tidak. Andaikan ada 48 jam dalam sehari, dimana aku bisa menghabiskan waktu bersamamu lebih lama, pastilah aku lebih bahagia.

Kita terpenjara dalam istilah 'teman'. Baiklah, apa yang buruk dari pertemanan? Tidak ada, kecuali sejak mata itu menikam logika ini, sejak kata dan lakumu berbentuk perhatian yang berlebih dari seorang yang hanya bergelar 'teman'.

Hari demi hari kuhabiskan sembari berangan jauh lewati batas nyata. Angan tentangmu tak pernah habis berpijar dalam alam bawah sadar ini. Aku tak mungkin memulai, aku juga malas menunggu, tapi.. Apa yang kutunggu? mungkin aku saja yang berlebihan menyangka bahwa kamu punyai rasa yang sama.

Bertahun-tahun aku bangun harapan ini, tapi hanya dengan sepersekian detik kamu buat lebur. Pelukan yang kuharapkan jadi milikku, kini kaupasrahkan ke orang lain, di depan mata ini. Mata yang pernah takjub atas seorang lelaki berbadan tegap dengan suara yang tegas nan dilembutkan. Kemudian dengan riangnya kaukenalkan dia padaku. Sungguh, tak sampaikah akalmu menyadari perasaan yang jelas-jelas ku tunjukkan selama ini? Tak pernah ada artinyakah kebersamaan kita? Tapi apa yang patut aku cemburui? Toh kita tidak saling memiliki.

Ingatan itu lekat sampai kini, rasa kecewa tak sebanding dengan kerinduan yang memeluk kehampaan ini. Biarlah sementara aku berjuang merapihkan kepingan hati itu, untuk nanti akan kuserahkan pada yang layak, meski kata 'sementara' itu tak tau sampai kapan.

Comments

Popular posts from this blog

Jilbab Hati

Ada seorang wanita yang dikenal taat beribadah. Ia kadang menjalankan ibadah sunnah. Hanya satu kekurangannya. Ia tak mau berjilbab. Menutup auratnya. Setiap kali ditanya ia hanya tersenyum dan menjawab, “Insyaallah. Yang penting hati dulu yang berjilbab.” Sudah banyak orang yang menanyakannya maupun menasehatinya. Tapi jawabannya tetap sama.Hingga di suatu malam…Ia bermimpi sedang di sebuah taman yang sangat indah. Rumputnya sangat hijau, berbagai macam bunga bermekaran. Ia bahkan bisa merasakan segarnya udara dan wanginya bunga. Sebuah sungai yang sangat jernih hingga dasarnya kelihatan, melintas di pinngir taman. Semilir angin pun ia rasakan di sela-sela jarinya. Ia tidak sendiri. Ada beberapa wanita disitu yang terlihat jjuga menikmati keindahan taman. Ia pun menghampiri salah satu wanita. Wajahnya sangat bersih, seakan-akan memancarkan cahaya yang sangat lembut.“Assalamualaikum, saudariku..”“Wa alaikumsalam.. Selamat datang, saudariku.”“Terima kasih. Apakah ini surga?” Wanita

Tentang diri

Bayangan mereka mengkilap bak permata di mataku, berjalan dengan gagahnya dan penuh wibawa. Pandangan mereka elok terjaga, tak pernah kulihat mata itu genit memandang ikhwan non mahram dan tutur katanya lembut namun tegas dengan lantangnya menyiarkan islam. Merekalah orang-orang yang aku kagumi. "Hai Pecundang! Mau apa kau ada di dunia ini?" Katanya  "Untuk menjadi hamba Allah" Jawabnya "Hamba Allah kau bilang? adakah Hamba Allah yang masih lalai mengerjakan kewajibannya!"Bentaknya "Aku akan berubah" Sahutnya. "Lalu adakah Hamba Allah yang masih membenci orang tuanya?" Kembali ia bertanya "Aku akan berubah dan mengubur benci ini dengan seiring waktu" Sangkalnya "Kau Hamba Allah yang acuh terhadap sunah rasulmu, benarkah" Tanyanya dengan dagu terangkat "Benar, tapi aku akan berubah" jawabnya dengan lirih Setelah puluhan pertanyaan dilontarkan, dengan berlinang air mata ia kembali bertany