Skip to main content

Merdeka.

Kebebasan itu semu. Memang, selama manusia hidup akan ada selau peraturan yang mengikat. Baik aturan agama, norma dalam masyarakat dan 'aturan' yang timbul dari nurani manusia. Bagiku, kebebasan itu tak ubahnya dongeng dari orang-orang yang tidak mensyukuri hidupnya. Bahkan, sampai matipun manusia tidak akan pernah bebas. Tidak akan bebas untuk mempertanggung jawabkan amalnya di dunia.

I want to be Independent


Merdeka. Ya, mungkin lebih tepatnya aku ingin merdeka bukan bebas. Merdeka dari kungkungan rasa takut yang membunuhku pelan-pelan, dari kekhawatiran gelapnya masa depan, dan merdeka dari perasaan khawatir kedua orang tuaku. Banyak hal yang kutakuti selama ini, aku takut mati dan takut kehilangan orang-orang yang kucintai, entah karena aku terlalu mencintai dunia atau perasaan ini memang wajar dirasakan oleh makhluk yang bernyawa. Kepalaku ini ibarat lahan yang bisa kutanami pohon-pohon indah yang kuinginkan, terkadang ada pula semak belukar yang tumbuh dengan semaunya. Semak belukar itu, setiap kali kucabut, akan ada sekawan belukar lain yang tumbuh. Tanaman hama tersebut yang membuatku tak bisa merdeka dan terkadang bertumbuh subur dan mengalahkan logikaku. Pada puncak-puncak pohon yang kutanam di lahan itu, aku sampirkan sekuntum bunga yang kuharap bisa menyatu dan tumbuh bersama pohon yang kutanam. Bunga itu kuberi nama Mimpi. Meski sulit, aku yakin bunga itu bisa tumbuh dan bermekaran bersama pohon-pohon yang kutanam, kemudian bunga-bunga yang bermekaran itu menjelma menjadi nyata dalam duniaku. Aneh memang. Aku tak peduli, toh itu kan kebun pribadiku. Namun, terkadang aku takut bunga-bunga itu tak bisa menyesuaikan diri dengan pohon yang kutanam dan berakhir layu. Aku takut sekali. Even my tears can't grow up the flowers .

I want to sail along the ocean stretches, feeling the wind, touching the sea water and tasting the sweet and bitter journey.

Aku hafal sekali dengan nasihat Imam Syafi'i yang tertulis pada novel favoritku, novel trilogi Negeri 5 Menara karya Ahmad Fuadi:
"Orang berilmu dan beradab
Tidak akan diam di kampung halaman
Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang
Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan
Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang
Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan
Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa
Anak panah jika tak tinggalkan busur tidak akan kena sasaran
Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam
Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang
Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang
Kayu gaharu (cendana) tak ubahnya
seperti kayu biasa jika didalam hutan."

Begitulah syair dari Imam Syafi'i yang sangat ingin kujalani, tapi kemana? hehe. Aku bermimpi ingin kesana, ingin kesitu, banyak sekali deh heheh. Tapi, nuraniku berkata bahwa aku belum pantas, aku belum punya modal intelektual yang cukup untuk berpergian 'gratis' seperti yang dijalani Ahmad Fuadi melalui program Study Exchange. Untuk menuntut ilmu ke Jakarta saja, orang tuaku melarang dengan seabrek alasan, aku tahu mereka menyayangiku tapi apa salahnya berlelah-lelah, bermacet-macet ke Jakarta kalau niatnya ingin menuntut ilmu?. Mereka tak mengindahkan keinginanku dan tetap melarangku. Lalu bagaimana jika suatu hari nanti aku hendak pergi ke luar negeri? aku bisa membayangkan 'Drama' macam apa yang akan terjadi. Aku ingin menepis semua kekhawatiran orang tuaku, ingin sekali kubuktikan bahwa aku bukan lagi gadis lugu yang mudah dibodohi orang lain. Aku ingin mereka percaya padaku dan membiarkan aku merdeka untuk pergi kemanapun asal niatnya baik.

Merdeka. Ini mimpi yang besar bagiku karena I admit, it's not easy to get it. Menghempas badanku ke padang rumput hijau, menghirup aroma kemerdekaan sambil memandang awan putih yang menyelamati kemerdekaanku sebagai gadis pengimplementasi nasihat imam syafi'i. I'm waiting that moments come to me, hopefully.



Comments

Popular posts from this blog

Untuk Si Patah Hati

Kehilangan bukan tentang perpisahan dan pergantian status. Melainkan, kehilangan adalah saat kamu tidak lagi terlibat dalam kehidupannya. Kamu, aku, dan mereka pasti pernah merasakan yang namanya kehilangan, kemungkinan rasanya sama, hampa. Refleksi dari kehilangan ini biasa disebut Patah Hati. Begitu kuat pengaruh dari kehilangan hingga dapat mematahkan hati manusia meski tak berdarah, memang manusia adalah makhluk yang lemah, bukan soal laki-laki atau perempuan, perasaan kehilangan seringkali menjadi faktor utama terjadinya banyak hal di dunia ini. Bisa jadi faktor dari bunuh diri, keputus-asaan, bahkan kegilaan. Dari berbagai akibat yang dupicu dari rasa kehilangan, adakah upaya kita agar kehilangan dapat berpengaruh positif bagi diri kita? kebanyakan orang justru ikut larut dalam kesedihan, mengurung diri dari keceriaan, dan menangis sudah menjadi budaya orang Patah Hati, entah menangis secara langsung atau menangis dalam hati. Yuk, kita rumuskan dan renungkan bersama-sama oba...

Aku tahu ini bukan jaminan

Hari ini seperti hari hari biasanya, aku bangun-sekolah-pulang-makan-tidur dan berulang-ulang seterusnya, kalaupun ada kegiatan lain mungkin tak ada yang hebat. Hanya ada sesuatu yang berbeda, aku bersama benda asing yang akhirnya kujadikan kawan untuk bersekolah; kerudung. Jangan pikir bahwa aku berkerudung dan aku baik. Tidak. Aku masih bongkar-pasang, kalau sudah pulang sekolah ya... aku lepas, buat apa panas-panasan. "Aku mau berkerudung di sekolah dulu, masih belajar" begitu bisikku kalau hendak melepas kerudung. Bahkan, kerudungku tak ubahnya kerudung kekecilan. Entahlah, aku tidak tahu ukuran yang benar kalau berkerudung, yang penting tertutup. Kadang kalau melihat cewek yang rambutnya di hias dan di gaya-gayain sedemikian rupa rasanya ingin kusudahi saja berkerudung seperti ini. Tapi, tekadku untuk memperbaiki diri selalu menyelamatkan kerudungku. Pada suatu siang, aku hendak berangkat ke bioskop bersama temanku, tentu saja tanpa kerudung. Kemudian a...

Jangan Menangis Ibu...

Hari ini tepat seminggu almarhum ayah pergi, namun tak banyak yang berubah dari penghuni rumah ini. Kakak perempuanku sudah kembali ke Bandung untuk bekerja, kakak laki-lakiku kembali pada kesibukannya menyusun skripsi, dan Ibu... tetap terlihat tegar, tak pernah kulihat ada air mata yang jatuh dari wajah cantiknya, tak pernah kulihat ada raut wajah yang sendu, ia tetap dengan canda tawanya yang selalu menghibur kami, padahal kami tahu ibu sangat mencintai ayah dan tak pernah kudengar keluh kesahnya saat merawat ayah, tapi mengapa saat ayah pergi senyumnya tak pernah pudar? apakah hanya aku saj a yang merasa terluka saat ayah pergi? entahlah... Kulihat ibu terduduk di kursi taman seraya melantunkan asma'ul husna dengan suara khasnya seperti biasa, tangannya sibuk menjahit bajuku yang robek karena kenakalanku memanjat pohon kemarin lusa. "Bu, kok rumah ini jadi sepi ya gak ada ayah " sambil memeluk ibu dari belakang. "Semua orang pasti akan ada gilirannya unt...