Skip to main content

Posts

Menunggu

"Tidak ada salahnya menunggu sambil memperbaiki diri, kan? Semisal yang kutunggu tak kunjung datang, setidaknya penantianku tidaklah sia-sia; telah kudapatkan diriku menjadi yang lebih baik."
Recent posts

Merdeka.

Kebebasan itu semu. Memang, selama manusia hidup akan ada selau peraturan yang mengikat. Baik aturan agama, norma dalam masyarakat dan 'aturan' yang timbul dari nurani manusia. Bagiku, kebebasan itu tak ubahnya dongeng dari orang-orang yang tidak mensyukuri hidupnya. Bahkan, sampai matipun manusia tidak akan pernah bebas. Tidak akan bebas untuk mempertanggung jawabkan amalnya di dunia. I want to be Independent Merdeka. Ya, mungkin lebih tepatnya aku ingin merdeka bukan bebas. Merdeka dari kungkungan rasa takut yang membunuhku pelan-pelan, dari kekhawatiran gelapnya masa depan, dan merdeka dari perasaan khawatir kedua orang tuaku. Banyak hal yang kutakuti selama ini, aku takut mati dan takut kehilangan orang-orang yang kucintai, entah karena aku terlalu mencintai dunia atau perasaan ini memang wajar dirasakan oleh makhluk yang bernyawa. Kepalaku ini ibarat lahan yang bisa kutanami pohon-pohon indah yang kuinginkan, terkadang ada pula semak belukar yang tumbuh dengan sem

Untuk Si Patah Hati

Kehilangan bukan tentang perpisahan dan pergantian status. Melainkan, kehilangan adalah saat kamu tidak lagi terlibat dalam kehidupannya. Kamu, aku, dan mereka pasti pernah merasakan yang namanya kehilangan, kemungkinan rasanya sama, hampa. Refleksi dari kehilangan ini biasa disebut Patah Hati. Begitu kuat pengaruh dari kehilangan hingga dapat mematahkan hati manusia meski tak berdarah, memang manusia adalah makhluk yang lemah, bukan soal laki-laki atau perempuan, perasaan kehilangan seringkali menjadi faktor utama terjadinya banyak hal di dunia ini. Bisa jadi faktor dari bunuh diri, keputus-asaan, bahkan kegilaan. Dari berbagai akibat yang dupicu dari rasa kehilangan, adakah upaya kita agar kehilangan dapat berpengaruh positif bagi diri kita? kebanyakan orang justru ikut larut dalam kesedihan, mengurung diri dari keceriaan, dan menangis sudah menjadi budaya orang Patah Hati, entah menangis secara langsung atau menangis dalam hati. Yuk, kita rumuskan dan renungkan bersama-sama oba

Puisi | Potret Negeriku

Untuk pagi yang aku rindukan Manakala matahari beringsut dari timur Yang cahayanya hadirkan harapan Pada embun yang setia menyambut Pada pepohonan yang lelap bersama rembulan Kubuka jendela namun tak kudapati yang kuminta Apalah gunanya mentari jika semua gelap gulita Jutaan anak kelaparan Jutaan anak hidup dalam kebodohan Jutaan ibu mati dalam perjuangan Jutaan bapak tak mengaku sebagai bapak Inikah potret negeriku yang hampir tumbang? Yang moralnya terkikis dan terbuang Sedang tiang iklan para punggawa berdiri kokoh menjulang Yang jiwa patriotnya tumbuh saat dekat peluang Ya, peluang jadi pemimpin gadungan Orang miskin paling mulia di negeri ini Teristimewa yang miskin ilmu dan agamanya Rupiahmu mampu taklukan mereka Atas janji-janji demokrasi klise Sudahlah, jangan kausebut-sebut lagi demokrasi yang mati dibunuh keserakahan itu Arwahnya sudah tenang bersama mimpi-mimpi perindu keadilan Aku benci pada pagi yg suguhkan pilu Aku rindu pagi yang dulu yang mungkin tak sempat dirasakan ge

Apa yang patut aku cemburui?

Apa yang lebih indah dari mendo'akan secara diam-diam? Bahkan yang namanya selalu kausebut dalam do'a tak pernah menyebut namamu walau dalam mimpinya. Lalu, apa yang lebih sakit dari mantra 'semoga' yang tak pernah berbuah nyata? Tapi inilah adanya, aku masih disini dengan rintihan rindu yang menyayat kalbu, dengan beban asmara yang tak pernah dipikul bersama, tapi.. Aku menikmatinya. Lima tahun silam kita pernah berdua di penghujung sore, menyaksikan sang surya yang kembali ke peraduan. Kau bilang itu sangat indah, bagiku tidak. Andaikan ada 48 jam dalam sehari, dimana aku bisa menghabiskan waktu bersamamu lebih lama, pastilah aku lebih bahagia. Kita terpenjara dalam istilah 'teman'. Baiklah, apa yang buruk dari pertemanan? Tidak ada, kecuali sejak mata itu menikam logika ini, sejak kata dan lakumu berbentuk perhatian yang berlebih dari seorang yang hanya bergelar 'teman'. Hari demi hari kuhabiskan sembari berangan jauh lewati batas nyata. Angan

Tentang diri

Bayangan mereka mengkilap bak permata di mataku, berjalan dengan gagahnya dan penuh wibawa. Pandangan mereka elok terjaga, tak pernah kulihat mata itu genit memandang ikhwan non mahram dan tutur katanya lembut namun tegas dengan lantangnya menyiarkan islam. Merekalah orang-orang yang aku kagumi. "Hai Pecundang! Mau apa kau ada di dunia ini?" Katanya  "Untuk menjadi hamba Allah" Jawabnya "Hamba Allah kau bilang? adakah Hamba Allah yang masih lalai mengerjakan kewajibannya!"Bentaknya "Aku akan berubah" Sahutnya. "Lalu adakah Hamba Allah yang masih membenci orang tuanya?" Kembali ia bertanya "Aku akan berubah dan mengubur benci ini dengan seiring waktu" Sangkalnya "Kau Hamba Allah yang acuh terhadap sunah rasulmu, benarkah" Tanyanya dengan dagu terangkat "Benar, tapi aku akan berubah" jawabnya dengan lirih Setelah puluhan pertanyaan dilontarkan, dengan berlinang air mata ia kembali bertany

Aku tahu ini bukan jaminan

Hari ini seperti hari hari biasanya, aku bangun-sekolah-pulang-makan-tidur dan berulang-ulang seterusnya, kalaupun ada kegiatan lain mungkin tak ada yang hebat. Hanya ada sesuatu yang berbeda, aku bersama benda asing yang akhirnya kujadikan kawan untuk bersekolah; kerudung. Jangan pikir bahwa aku berkerudung dan aku baik. Tidak. Aku masih bongkar-pasang, kalau sudah pulang sekolah ya... aku lepas, buat apa panas-panasan. "Aku mau berkerudung di sekolah dulu, masih belajar" begitu bisikku kalau hendak melepas kerudung. Bahkan, kerudungku tak ubahnya kerudung kekecilan. Entahlah, aku tidak tahu ukuran yang benar kalau berkerudung, yang penting tertutup. Kadang kalau melihat cewek yang rambutnya di hias dan di gaya-gayain sedemikian rupa rasanya ingin kusudahi saja berkerudung seperti ini. Tapi, tekadku untuk memperbaiki diri selalu menyelamatkan kerudungku. Pada suatu siang, aku hendak berangkat ke bioskop bersama temanku, tentu saja tanpa kerudung. Kemudian a